Senin, 17 Januari 2011

Ironi di Lapangan Berlumpur

Ngotot. Bersemangat. Pantang menyerah. Para pemain sepak bola di bawah usia 14 tahun itu tidak mau menyerah dengan kondisi lapangan yang becek dan berlumpur. Mereka bermain selama 60 menit seolah tanpa lelah.
Itulah atmosfer yang mencuat di tengah lapangan Pertamina, Simprug, Jakarta, saat 15 tim memperebutkan empat tiket ke Liga Kompas Gramedia U14, Minggu (16/1). Lapangan yang biasanya hijau itu berubah menjadi kubangan lumpur setelah disiram hujan lebat.
Para pemain muda itu jatuh bangun di kubangan lumpur saat berebut bola. Mereka juga sering melakukan pelanggaran keras yang tak disengaja karena lapangan licin. Peluang cedera pun sangat besar, seperti dialami kiper Indocement, Muhammad Nasrudin.
Kiper bertubuh mungil ini matanya kemasukan lumpur saat menubruk bola yang meluncur di atas kubangan lumpur di depan gawang. Cipratan air membutakan matanya dan pertandingan dihentikan sejenak saat Nasrudin ditangani tim medis.
”Aduh, lapangannya jelek banget, seperti sawah. Bola enggak bisa ngalir. Seharusnya diperbaiki nih oleh pemerintah,” ujar Rangga Abdulrahman, bek kanan Indocement.
Drama di tengah lapangan itu merupakan ironi kondisi infrastruktur sepak bola yang kurang memadai di negeri penggila bola ini. Kondisi lapangan tim nasional pun menjadi keluhan Pelatih Alfred Riedl.
”Lapangan ini (Lapangan C Senayan) saat kering sangat keras, bola sulit dikontrol dan pemain rawan cedera. Saat basah kondisinya lumayan lembut, tetapi kalau hujan lebat becek,” ujar Riedl.
Nah, lapangan untuk tim nasional saja kondisinya tidak standar, apalagi lapangan untuk pemain muda yang sebagian besar swadaya itu.
”Tidak mungkin ada sepak bola berkualitas jika infrastruktur tidak memadai, seperti lapangan berlubang,” ujar Direktur Kepelatihan Sekolah Sepak Bola Indonesia Arsenal Dale Mulholland dalam sebuah pertemuan.
Apa yang diungkapkan Dale sejalan dengan pengakuan Galuh Herlambang dan Bambang Sutrisno yang membela La Rose JNC di play off Liga Kompas Gramedia U14. Mereka tidak bisa bermain maksimal karena energi habis di lumpur. Aliran bola tersendat dan mengacaukan pola permainan.
Tuntutan memperbaiki lapangan sepak bola untuk publik sudah sering dilontarkan para pemerhati olahraga. Salah satunya menghentikan kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk membiayai klub-klub profesional.
Dana miliaran rupiah untuk subsidi klub, kisaran 10-40 miliar per tahun, bisa menyulap lapangan-lapangan kelas kampung menjadi standar internasional.
Kondisi infrastruktur sepak bola ini menjadi ironi jika dikontraskan dengan semangat bertanding dan bakat-bakat pemain muda. Mereka terpaksa tidak peduli dengan kondisi lapangan yang sebenarnya tidak layak digunakan.
Di titik ini, pemerintah yang selama ini mendengungkan target sepak bola Indonesia sebagai macan Asia tidak bisa tinggal diam terhadap fenomena ini. Perbaikan infrastruktur sangat dibutuhkan oleh para pemain muda untuk mengembangkan bakatnya. Semua pihak juga harus ngotot, bersemangat, dan pantang menyerah memperbaiki infrastruktur sepak bola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar